SURABAYA – Homoseksual bisa terjadi karena faktor lingkungan. Hal tersebut disampaikan Dosen UNAIR Atika Dian Ariana S Psi MSc ketika ditemui UNAIR NEWS beberapa waktu lalu.
Apakah lingkungan benar-benar berpengaruh? Atika menyebut ada kemungkinkan. Misalnya, ada seseorang memilih berhubungan dengan sesama jenis karena memang budaya tersebut terjadi di lingkungan tersebut.
“Dia tidak memiliki opsi lain. Akhirnya komunitas, tempat, atau circlenya dia kebetulan juga orang-orang homoseksual. Akhirnya dia pun juga berperan di situ, ” ujarnya, Jum'at (20/5/2022).
“Seperti halnya konsep diri sangat berkembang sejalan dengan bagaimana dia berinteraksi dengan lingkungan. Ápakah ada penguatan, ada penolakan, itu mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri, ” tambahnya.
Seksual Bukan Hanya Lingkungan
Menurut dosen Psikologi UNAIR itu, seksual bukan hanya sekadar lingkungan. Jadi, masyarakat perlu menjaga lingkungannya dengan baik. Terutama agar terbebas dari lingkungan homoseksual.
“Yang perlu kita pertimbangkan adalah faktor protektif. Yaitu, memberikan lingkungan yang yang sehat untuk anak agar terus tumbuh dan berkembang dengan baik. Orang tua perlu jadi teman anak berdiskusi. Terutama soal perkembangan seksual, ” ujarnya.
“Karena kalau tidak, mereka (anak-anak, Red) mungkin akan mengakses informasi dari sumber yang kurang kredibel. Bahkan mungkin menjerumuskan ke komunitas yang berbeda dari yang kita harapkan, ” tegasnya.
Baca juga:
Peminat SNMPTN UB 2022 Sebanyak 40.094
|
Peran Orang Tua
Atika menyarankan orang tua menyiapkan diri menjadi teman berdiskusi bagi anak. Khususnya berkaitan dengan identitas gender dan orientasi seksual mereka.
Pastikan pendidikan seksual jangan dianggap sebagai hal yang tabu. Orang tua jangan menutup diri dari pertanyaan anak yang terkesan sederhana dan tidak penting ditanyakan. Namun, pertanyaan tersebut merupakan proses pengenalan konsep seksualitas anak.
“Pertanyaan mengenai konsep dirinya bukan hanya dalam hal seksual sebenarnya berkaitan dengan banyak hal. Soal identitas itu penting untuk kemudian didiskusikan bersama, ” ungkapnya.
Podcast Jadi Sumber Edukasi Bukan Promosi
Seperti halnya kasus podcast Deddy Corbuzier pasangan homoseksual, Atika berpesan menjadikan itu sebagai konten edukasi. Jadi, podcast jangan dianggap program yang mengarah ke promosi mendukung LGBT, namun sebagai edukasi yang berbicara sebuah fenomena di masyarakat.
Karena itu, perlu dipertimbangkan budaya di masyarakat yang berlaku di daerah tertentu. Mengingat, secara secara global, LGBT dianggap bukan menjadi hal yang dipermasalahkan. Namun, itu sangat berbeda dengan budaya di Indonesia yang belum menerimanya.
“Artinya, secara jumlah pasangan homoseksual, mungkin tidak banyak dibanding pasangan heteroseksual. Budaya itu (heteroseksual) juga perlu kita hormati, ” ungkapnya.
“Karena, ada pepatah mengatakan ‘Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Sebaiknya ketika membuat acara atau program yang kemudian disiarkan ke media sosial dan dilihat jutaan orang di Indonesia, perlu mempertimbangkan faktor budaya ini, ” pesan Atika. (*)
Foto : Dosen Psikologis UNAIR Atika Dian Ariana S Psi MSc)